Blok Ambalat yang pada tahun 2007 lalu sempat menimbulkan ketegangan antara pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia, kini kembali menjadi sorotan. Hal ini terkait dengan kembali masuknya kapal perang Malaysia di perairan wilayah Indonesia (25 Mei 2009).
Berdasarkan ensklopedia Wikipedia, Ambalat adalah blok laut luas 15.235 kilometer persegi yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar, dimana blok laut ini kaya akan minyak mentah. Melihat peta perjalanan sejarah, sudah sejak lama blok ini menjadi ranah sengketa antara pemerintan RI dan Malaysia.
Persoalan yang timbul setelah pada tahun 1967 pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo) kemudian pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan, dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati pulau Sebatik. Tentu peta inipun sama nasibnya dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969 yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus menerus dari pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.
"Posisi kita di Ambalat lebih kuat, karena lebih dahulu melakukan okupasi aktif. Berbeda dengan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang sebelumya. Kita telah proaktif dengan membangun pos perbatasan dan kapal perang," kata Muladi usai Round Table Peningkatan Pengamanan Wilayah Maritim Guna Mencegah Ancaman Asimetrik di Wilayah Laut NKRI (27/5/2009). Untuk menyelesaikan konflik yang terus-terusan menjadi pemicu meruncingnya hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia ini, perlu dilakukan dialog dalam forum yang lebih luas.
Selain mengambil langkah eksternal melalui perundingan tersebut, pemerintah Indonesia juga harus melakukan langkah internal , misalnya dengan menyiapkan diri guna menghadapi adanya kemungkinan sidang terkait hal tersebut. Disamping itu, solusi juga ditawarkan oleh beberapa elemen masyarakat seperti dikutip dalam www.dephan.go.id bahwa dengan adanya ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia soal batas wilayah negara terkait dengan klaim Malaysia bahwa kawasan Ambalat di Kabupaten Nunukan, membuka mata bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sangat mendesak. Kemungkinan hal tersebut bisa menjadi solusi alternatif guna meningkatkan dayaguna wilayah-wilayah yang selama ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Amiennn....
Berdasarkan ensklopedia Wikipedia, Ambalat adalah blok laut luas 15.235 kilometer persegi yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar, dimana blok laut ini kaya akan minyak mentah. Melihat peta perjalanan sejarah, sudah sejak lama blok ini menjadi ranah sengketa antara pemerintan RI dan Malaysia.
Persoalan yang timbul setelah pada tahun 1967 pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo) kemudian pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan, dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati pulau Sebatik. Tentu peta inipun sama nasibnya dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969 yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus menerus dari pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.
"Posisi kita di Ambalat lebih kuat, karena lebih dahulu melakukan okupasi aktif. Berbeda dengan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang sebelumya. Kita telah proaktif dengan membangun pos perbatasan dan kapal perang," kata Muladi usai Round Table Peningkatan Pengamanan Wilayah Maritim Guna Mencegah Ancaman Asimetrik di Wilayah Laut NKRI (27/5/2009). Untuk menyelesaikan konflik yang terus-terusan menjadi pemicu meruncingnya hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia ini, perlu dilakukan dialog dalam forum yang lebih luas.
Selain mengambil langkah eksternal melalui perundingan tersebut, pemerintah Indonesia juga harus melakukan langkah internal , misalnya dengan menyiapkan diri guna menghadapi adanya kemungkinan sidang terkait hal tersebut. Disamping itu, solusi juga ditawarkan oleh beberapa elemen masyarakat seperti dikutip dalam www.dephan.go.id bahwa dengan adanya ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia soal batas wilayah negara terkait dengan klaim Malaysia bahwa kawasan Ambalat di Kabupaten Nunukan, membuka mata bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sangat mendesak. Kemungkinan hal tersebut bisa menjadi solusi alternatif guna meningkatkan dayaguna wilayah-wilayah yang selama ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Amiennn....