Minggu, 21 November 2010

IPO PT Krakatau Steel: Perampokan dan Perampasan Kepemilikan Harta Milik Rakyat

PT Krakatau Steel (KS) adalah perusahaan negara yang sejatinya milik rakyat. PT KS merupakan industri baja terpadu terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi mencapai 2,5 juta ton pertahun. Bagi sebuah negara, industri baja memegang peranan yang sangat strategis, karena hampir 95% peralatan logam yang dipergunakan manusia berasal dari baja. PT KS memegang peranan yang menentukan, yaitu menyuplai 60% kebutuhan baja nasional dan menjadi basis untuk kepentingan industrialisasi di dalam negeri.

Pada hari Rabu 10 November 2010, PT KS (Persero) Tbk. resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kegiatan ini merupakan puncak dari serangkaian proses privatisasi (baca: pengalihan kepemilikan saham) yang telah direncanakan PT KS beberapa tahun terakhir. Harga saham PT KS telah ditetapkan sebesar Rp 850 persaham. Jumlah saham yang dilepas ke masyarakat sebanyak 3,155 miliar saham atau setara dengan 20% dari keseluruhan saham. Perkiraan dana (kotor) yang dapat diraih PT KS dari IPO (Initial Public Offering) atau penawaran umum perdana ini adalah sebesar Rp 2,68 Triliun. (Krakatau.steel.com, 11/11/2010).

Alasan Keliru Pemerintah

Ada beberapa pandangan di balik privatisasi, misalnya, privatisasi PT KS adalah untuk meningkatkan laba dan memajukan kinerja perusahaan. Ini belum tentu benar karena saham tidak sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan negara tersebut. Malah prosentase kepemilikan saham dari pihak asing lebih tinggi daripada perusahaan itu atau saham milik negara. Tidak salah jika sebagian pengamat menyatakan bahwa IPO KS adalah seperti perampokan yang sistemik; ada pihak-pihak tertentu yang bermain untuk mengambil keuntungan. Faktanya, hanya dalam satu hari penawaran, saham PT KS langsung melejit 49% (Detikfinance, 11/11).

Akibatnya, menurut Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Prof. Drajad Wibowo, negara dan PT Krakatau Steel dirampok sekitar Rp 1, 2 Triliun hanya dalam sehari. Upaya underwriters dengan memberikan jatah kepada asing sebesar 35 persen untuk mencari investor yang berkualitas hanya omong kosong. Buktinya, Credit Suisse melepas saham dalam jumlah besar hari itu juga. Baru satu sesi saja investor yang membeli saham Krakatau melalui Credit Suisse sudah mengeruk untung besar. IPO (penawaran umum saham perdana) PT Krakatau Steel merupakan perampokan melalui pasar modal (Republika.co.id, 12/11).

Dr. Hendri Saparini, Direktur ECONIT, mengumpamakan kondisi PT Krakatau Steel sama seperti dengan Gunung Anak Krakatau, yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan guncangan dan menelan korban. Ini baru seperti (Gunung) Anak Krakatau, baru keluar asap. Masih banyak magma yang akan keluar. PT Krakatau Steel merupakan perusahaan berstatus badan usaha milik negara (BUMN) sehat dan potensial yang tidak perlu dijual sahamnya. Kekhawatiran proses penjualan saham KS dengan harga yang murah-senilai Rp 850 persaham-itu menjadi skandal ekonomi baru yang lebih besar/dahsyat dari kasus Bank Century (Suarakarya-online.com, 10/11).

Menurut Yanuar, pengamat pasar modal, dalam kasus IPO PT Krakatau Steel ada indikasi masyarakat hanya mendapat 2 persen saja, sedangkan 98 persen merupakan penjatahan tetap. Kalau sudah demikian, harga yang terbentuk tidak nyata. Saham PT KS merupakan saham ‘gorengan’ karena konstribusi faktor fundamental terhadap penentuan harganya hanya 0,14 persen. Pengaruh fundamental dari saham ini yang hanya 0,14 persen merupakan amatiran karena mereka melakukan untuk keuntungan diri sendiri (Suarakarya-online.com, 10/11).

Rekomendasi

Sejumlah tokoh Banten meminta Pemerintah mengkaji dan mencermati kembali agenda privatisasi (pengalihan sebagian saham) PT Krakatau Steel. Sebab, privatisasi akan melemahkan kedaulatan negara di bidang ekonomi dan politik perekonomian. Forum diskusi tokoh bertema “Telaah Kritis Privatisasi (IPO) PT KS” di Aula Setda Provinsi Banten di Serang, Sabtu, 7 November 2010, yang diselenggarakan DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Provinsi Banten-yang menghadirkan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Wagub Banten HM Masduki, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto, Corporate Secretary PT KS Raden Gunawan dan tokoh Banten dari berbagai elemen masyarakat-menyampaikan rekomendasi (usulan) kepada pihak PT KS, masyarakat Banten, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Isi rekomendasi tersebut di antaranya, mendesak jajaran manajemen PT KS meningkatkan kinerja untuk membuktikan kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahwa tanpa diprivatiasi pun PT KS dapat tumbuh sehat dan berkembang serta meningkatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat Banten. Seluruh lapisan dan elemen masyarakat Banten, Pemerintah kabupaten/kota se-Banten diseru untuk menolak privatisasi dalam bentuk apapun, karena privatisasi sarat dengan kepentingan neo-imperialisme (penjajahan baru). Sebagai alternatif, untuk dana pengembangan PT KS hendaknya pembeli saham adalah pemerintah daerah setempat.

Bahaya Privatisasi

Privatisasi (pengalihan aset negara/milik rakyat) merupakan bagian tak terpisahkan dari ideologi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu atau kebebasan kepemilikan. Islam melarang kita mengadopsi konsep-konsep ekonomi yang secara asasi bertentangan dengan akidah. Apalagi privatisasi terbukti telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat dan ketidakmandirian perekonomian negara. Privatisasi merupakan pengambilalihan swasta terhadap kekayaan kolektif dan kepemilikan masyarakat, termasuk simpanan publik, tanah, mineral tambang, hutan, dan lain-lain. Ini merupakan bagian dari strategi kaum penjajah untuk menghancurkan suatu negara dan kemudian menguasainya. Perusahaan PT Krakatau Steel termasuk perusahaan strategis untuk kepentingan negeri ini. Karena itu, perusahaan baja ini tidak boleh dijual. Apalagi, seperti dikatakan pengamat ekonomi, Drajat Wibowo, kinerja keuangan PT KS juga tak buruk-buruk amat. Pada semester I 2010, produsen baja yang berpusat di Cilegon Banten ini mampu meraup laba bersih hampir Rp 1 Triliun.

Jika dicermati lebih jauh, penyebab kemunduran PT Krakatau Steel ada pada kesalahan kebijakan pemerintahan sekarang ini. Pertama: PT Krakatau Steel mengalami kekurangan pasokan bahan baku seperti bijih besi, bijih mangan, bijih chrom, bijih nikel, kapur dan dolomit. Keseluruhan bahan baku itu dapat disediakan oleh alam Indonesia. Namun, Pemerintahan SBY-lah yang mengekspornya dengan harga sangat murah ke luar negeri. Kedua: produksi PT Krakatau Steel terkendala oleh kurangnya pasokan energi, khususnya listrik, sehingga industri baja tidak bisa beroperasi secara maksimal. Sayang sekali, lagi-lagi SBY membuat kesalahan ketika mengekspor murah batu bara Indonesia ke luar negeri. Ketiga: kurangnya pengembangan industri bahan baku baja di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Privatisasi dalam Pandangan Islam

Ide privatisasi pada dasarnya meniadakan peranan Pemerintah dalam perekonomian dan pelayanan masyarakat, kemudian menyerahkannya kepada para investor (swasta, termasuk pihak asing). Ide ini berpijak pada pandangan Adam Smith yang menghendaki perekonomian berjalan tanpa campur tangan pemerintah atau laissez faire. Prinsip dasar laissez faire sangat bertentangan dengan prinsip Islam, yakni negara merupakan pengatur dan pelayan urusan umat (ri’âyah as-su’ûn al-ummah). Rasulullah saw. pernah bersabda:

اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan dia bertanggung jawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Privatisasi merupakan bagian utama program penyesuaian struktural yang dilahirkan di Washington pada tahun 1980. Privatisasi selalu menjadi agenda globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya, serta para investor. Tujuan program-program politik ekonomi yang mereka usung adalah untuk menjaga kesinambungan penjajahan para kapitalis terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Padahal jelas, syariah Islam telah melarang para pejabat negara mengambil suatu kebijakan dengan menyerahkan penanganan ekonomi kepada para kapitalis ataupun dengan menggunakan standar-standar kapitalis, karena selain bertentangan dengan konsep syariah, juga membahayakan negara dan masyarakat. Nabi Muhammad saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling) membahayakan (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Privatisasi yang dilakukan Pemerintah atas BUMN yang terkategori harta milik umum dan sektor/industri strategis dilarang oleh syariah Islam. Nabi Muhammad saw. bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثٍ: فيِ الْمَاءِ وَ الْكَلَأِ وَ النَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga barang: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2002) harta milik umum mencakup fasilitas umum, barang tambang yang jumlahnya sangat besar dan sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menyebabkan tidak mungkin dikuasai oleh individu. Adapun industri strategis adalah adalah industri yang menghasilkan produk/mesin yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan sektor perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, transportasi, telekomunikasi dan industri baja.

Karena itu, selain haram, privatisasi juga berbahaya karena: Pertama, menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan; sementara orang banyak tidak dapat memanfaatkan harta tersebut. Hal ini tidak dibenarkan menurut Islam (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7).

Kedua, menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum Muslim. Dengan privatisasi, individu atau perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam, baik di bidang ekonomi maupun politik. Negeri-negeri Islam akan terjerumus dalam cengkeraman penjajahan ekonomi. Hal ini tegas telah diharamkan dalam Islam (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141).

Karena itu, jelas, privatisasi, apapun modusnya, harus selalu diwaspadai, karena ujung-ujungnya adalah penjajahan ekonomi atas umat Islam. Namun demikian, selama negeri ini menerapkan sistem ekonomi kapitalis, penjajahan ekonomi, baik melalui privatisasi ataupun yang lain, akan tetap berlangsung. Semua itu hanya bisa dicegah jika umat ini menerapkan syariah Islam secara total dalam negara, termasuk dalam bidang ekonomi, dengan hanya menerapkan sistem ekonomi Islam, tentu hanya dalam intitusi Khilafah Islam.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

KOMENTAR AL ISLAM:

Polri, Kejagung, Menkumham Ramai-ramai Cuci Tangan (dalam kasus kaburnya Gayus, red.) (Inilah.com, 16/11/2010).

Satu lagi bukti, betapa sistem sekular banyak melahirkan aparat yang tak bertanggung jawab.


HTI

Kebijakan Khilafah di Bidang Industri Strategis

Negara Khilafah adalah negara ideologis yang dibangun berdasarkan ideologi Islam serta untuk menerapkan dan mengemban Islam sebagai ideologi ke seluruh dunia. Ideologi inilah yang akan menentukan haluan negara, termasuk berbagai kebijakan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, negara Khilafah dengan kekayaan intelektual yang dibangun berdasarkan ideologi yang shahih, yaitu Islam, ini benar-benar merupakan negara merdeka dengan pengertian yang sesungguhnya. Negara yang memiliki kedaulatan, kekuasan, keamanan dan disegani oleh kawan maupun lawan, serta jauh dari hegemoni negara maupun lembaga manapun di dunia.

Negara seperti ini harus mandiri dalam segala bidang, termasuk di bidang industri. Karena itu, Negara Khilafah harus menjadi negara industri maju sebab karakternya sebagai negara ideologis, baik dalam konteks politik domestik maupun global, dan hukum-hukum syara’ yang terkait dengannya mengharuskan Khilafah harus seperti itu. Menjadi negara mandiri, tidak bergantung kepada yang lain, dalam menggerakkan roda ekonomi dan industrinya, serta tidak bergantung pada impor, atau menjadi pasar konsumtif bagi industri negara-negara asing, terutama negara penjajah. Bahkan untuk menjaga keamanannya, Khilafah harus mempunyai industri persenjataan dan logistik perang sendiri. Politik luar negerinya, yaitu dakwah dan jihad, juga mengharuskan negara melakukan persiapan sesuai dengan ketentuan hukum syara’ (QS al-Anfal: 60).

Politik Industri

Pendek kata, Khilafah harus menjadi negara industri maju dan harus mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Karena itu, harus dilakukan revolusi industri, di mana kebijakan di bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif, diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat, yang biasanya dikenal dengan industri alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan.

Contoh menarik adalah Uni Soviet. Ketika Lenin diminta untuk mereformasi industri pertanian dengan mendatangkan peralatan dari Barat, dengan tegas dia menyatakan, “Kita tidak akan menggunakannya, sampai kita bisa memproduksi sendiri.” Sejak saat itu, Uni Soviet terus melakukan revolusi industri dan berhasil menjadi negara nomer satu di bidang industri kemiliteran sehingga tampil menjadi adidaya bersama Amerika.

Ini dari aspek politik industri negara. Adapun dari aspek revolusi industrinya, maka ini merupakan perubahan mendasar di bidang industri di dalam negeri dan seluruh level yang dibutuhkan oleh industri peralatan, pertahanan dan keamanan, elektronik, satelit dan lain-lain. Begitu Khilafah berdiri, industri berat ini harus seketika itu juga dibangun, dan tidak boleh santai sebelum benar-benar menguasai hulu, bahkan kalau perlu hingga hilirnya. Semua potensi ekonomi harus diarahkan ke sana guna membangun industri peralatan, dengan tetap melanjutkan industri yang sudah ada, seperti industri konsumtif, meski dengan catatan tidak boleh ada penambahan, sebelum target industri berat ini tercapai. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh negara maupun individu, harus tunduk kepada politik industri negara, yaitu industri pertahanan dan keamanan.

Politik dan revolusi industri di atas tidak mungkin bisa diwujudkan oleh negara Khilafah, kecuali dengan sejumlah langkah, antara lain, negara harus membuka pusat-pusat kajian dan riset, pelatihan dan laboratorium untuk mengajarkan sains industrial enginering, baik teori maupun terapan, seperti industri eksplorasi, penambangan, pengolahan dan kimia. Semuanya ini digunakan untuk menopang industri berat serta industri pertahanan dan keamanan negara.

Perlu dicatat, bahwa industri pertahanan dan keamanan ini sudah dikembangkan pada masa awal Islam. Pada masa Nabi, pedang, tombak, panah, perisai, manjaniq (pelontar batu) dan dababah (sejenis tank yang terbuat dari kulit) adalah alutsista negara pada waktu itu. Alutsista ini sudah digunakan kaum Muslim pada zamannya. Mereka bahkan bisa memproduksinya sendiri, dengan bahan baku yang tersedia.

Pada zaman Harun ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyyah, sudah diciptakan jam sebagai penunjuk waktu. Ketika Charlement, Raja Eropa saat itu, mendapat hadiah darinya, kemudian jam itu berdetak lalu mengeluarkan bunyi, permaisuri Raja saat itu mengira jam tersebut dihuni banyak jin Efrit. Pada zaman Sultan Muhammad al-Fatih, Khilafah Utsmaniyyah, dia membiayai ilmuan penemu alutsista untuk mengembangkan penemuannya, yang semula diajukan kepada Raja Eropa, tetapi tidak direspons. Dia pun berhasil membuat meriam raksasa yang beratnya 700 ton, dengan berat mesiu 12.000 rithl, ditarik oleh 100 kerbau dan dibantu 100 orang yang gagah perkasa. Jauh lontarannya sejauh 1 mil, dengan kedalaman 6 kaki. Suara ledakannya terdengar dari jarak 13 mil. Meriam ini telah digunakan untuk menghancurkan tembok Konstantinopel, ketika ditaklukkan oleh sang Sultan.

Ini merupakan gambaran nyata tentang bagaimana politik industri negara harus dijalankan. Politik yang didasarkan pada industri pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah).

Industri Pertahanan, Keamanan dan Bahan Baku

Industri pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah) sebagai pondasi seluruh kebijakan negara di bidang industri mengharuskan adanya industri alat berat, bahan baku dan bahan bakar. Karena itu, negara Khilafah juga harus membangun industri bahan baku, seperti baja, besi, seng, kuningan dan alumunium. Selain itu, negara Khilafah harus mandiri di bidang energi sehingga bisa memenuhi kebutuhan industrinya. Negara juga harus mempunyai industri eksplorasi, penambangan, pengelolaan dan penjernihan minyak, gas, batubara, panas bumi dan lain-lain. Termasuk industri nuklir, baik untuk persenjataan maupun energi. Semuanya ini bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara Khilafah memiliki industri alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada negara lain, terutama negara Barat.

Karena industri-industri ini merupakan industri strategis, maka industri-industri ini—sebagaimana tabiatnya sebagai penghasil barang-barang startegis—tidak boleh dimiliki oleh pribadi, baik swasta domestik maupun asing. Meski jenis produksinya ada yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti energi, dan status industrinya merupakan industri milik umum (public industry), tetapi pengelolaannya tetap ditangani oleh negara. Karena itu, industri-industri strategis ini pada dasarnya akan ditangani oleh negara, bukan oleh individu, atau diprivatisasi untuk kepentingan individu, partai atau kelompok tertentu.

Dengan kebijakan seperti itu, produksi alat utama sistem pertahanan negara (alutsista) bisa dilakukan secara mandiri. Mulai dari pesawat tempur, kapal induk, kapal patroli, kapal selam, helikopter, tank, rudal jelajah antar benua, rudal pertahanan, radar, satelit dan lain-lain. Semuanya bisa diproduksi sendiri oleh negara Khilafah, dengan bahan baku, bahan bakar, energi hingga alat berat yang digunakan untuk memproduksinya. Namun, kebijakan ini tidak akan bisa dijalankan jika tidak ada politik industri yang integratif, yang dijalankan oleh negara. Mulai dari industri alat berat, bahan baku, bahan bakar dan energi. Mengenai pasar, bagi negara Khilafah, fokus utama produksi adalah pertahanan dan keamanan, bukan bisnis persenjataan.

Dengan demikian, masalah pasar tidak menjadi permasalahan utama dalam produksi alutsista. Dengan kata lain, industri pertahanan dan keamanan negara tidak dibangun dengan prinsip benefit (untung rugi), tetapi didasarkan pada kebutuhan pertahanan dan keamanan negara semata. Jika untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan negara dibutuhkan dana besar, maka berapapun kebutuhannya harus dipenuhi oleh negara (Baitul Mal), tanpa melihat apakah produksi tersebut akan memberikan keuntungan finansial atau tidak.

Ini berbeda dengan industri yang lain, seperti industri otomotif, elektronik, properti, konsumtif dan lain-lain. Dalam industri ini faktor supply and demand atau market menjadi acuan dalam menentukan volume, kapasitas dan ragam barang yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi. Selain itu, status kepemilikan industri seperti ini tidak harus dimiliki oleh negara, tetapi boleh juga dimiliki oleh individu.

Kesimpulan

Matinya industri pertahanan dan keamanan, yang kemudian berdampak pada lemahnya pertahanan dan keamanan negara memang tidak bisa dilepaskan dari konspirasi negara penjajah dengan para anteknya. Mulai dari penyesatan opini, seperti “high cost”, “tidak marketable” dan sebagainya, hingga dilumpuhkannya industri alat berat, kedirgantaraan, maritim dan lain-lain. Termasuk dihancurkannya industri pertambangan, baik melalui regulasi maupun politik yang korup, hingga negeri-negeri kaum Muslim yang kaya akan tambang dan energi itu harus mengalami defisit pasokan energi.

Dengan cara yang sama, bahan baku yang melimpah akhirnya berhasil dikuras oleh negara-negara penjajah. Kasus yang terjadi pada PT Krakatau Steel dengan produksi bajanya adalah bukti praktik regulasi dan politik yang korup. Belum lagi persaingan antara AS, melalui perusahaan Korea Selatan dengan anteknya di Indonesia dan negara itu, dengan Uni Eropa guna memperebutkan industri strategis ini. Ini hanyalah contoh, bagaimana industri strategis di negeri-negeri kaum Muslim dihancurkan melalui konspirasi jahat negara-negara penjajah dan antek-antek mereka yang rakus dan korup.

HTI