Minggu, 21 November 2010

Kebijakan Khilafah di Bidang Industri Strategis

Negara Khilafah adalah negara ideologis yang dibangun berdasarkan ideologi Islam serta untuk menerapkan dan mengemban Islam sebagai ideologi ke seluruh dunia. Ideologi inilah yang akan menentukan haluan negara, termasuk berbagai kebijakan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, negara Khilafah dengan kekayaan intelektual yang dibangun berdasarkan ideologi yang shahih, yaitu Islam, ini benar-benar merupakan negara merdeka dengan pengertian yang sesungguhnya. Negara yang memiliki kedaulatan, kekuasan, keamanan dan disegani oleh kawan maupun lawan, serta jauh dari hegemoni negara maupun lembaga manapun di dunia.

Negara seperti ini harus mandiri dalam segala bidang, termasuk di bidang industri. Karena itu, Negara Khilafah harus menjadi negara industri maju sebab karakternya sebagai negara ideologis, baik dalam konteks politik domestik maupun global, dan hukum-hukum syara’ yang terkait dengannya mengharuskan Khilafah harus seperti itu. Menjadi negara mandiri, tidak bergantung kepada yang lain, dalam menggerakkan roda ekonomi dan industrinya, serta tidak bergantung pada impor, atau menjadi pasar konsumtif bagi industri negara-negara asing, terutama negara penjajah. Bahkan untuk menjaga keamanannya, Khilafah harus mempunyai industri persenjataan dan logistik perang sendiri. Politik luar negerinya, yaitu dakwah dan jihad, juga mengharuskan negara melakukan persiapan sesuai dengan ketentuan hukum syara’ (QS al-Anfal: 60).

Politik Industri

Pendek kata, Khilafah harus menjadi negara industri maju dan harus mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Karena itu, harus dilakukan revolusi industri, di mana kebijakan di bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif, diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat, yang biasanya dikenal dengan industri alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan.

Contoh menarik adalah Uni Soviet. Ketika Lenin diminta untuk mereformasi industri pertanian dengan mendatangkan peralatan dari Barat, dengan tegas dia menyatakan, “Kita tidak akan menggunakannya, sampai kita bisa memproduksi sendiri.” Sejak saat itu, Uni Soviet terus melakukan revolusi industri dan berhasil menjadi negara nomer satu di bidang industri kemiliteran sehingga tampil menjadi adidaya bersama Amerika.

Ini dari aspek politik industri negara. Adapun dari aspek revolusi industrinya, maka ini merupakan perubahan mendasar di bidang industri di dalam negeri dan seluruh level yang dibutuhkan oleh industri peralatan, pertahanan dan keamanan, elektronik, satelit dan lain-lain. Begitu Khilafah berdiri, industri berat ini harus seketika itu juga dibangun, dan tidak boleh santai sebelum benar-benar menguasai hulu, bahkan kalau perlu hingga hilirnya. Semua potensi ekonomi harus diarahkan ke sana guna membangun industri peralatan, dengan tetap melanjutkan industri yang sudah ada, seperti industri konsumtif, meski dengan catatan tidak boleh ada penambahan, sebelum target industri berat ini tercapai. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh negara maupun individu, harus tunduk kepada politik industri negara, yaitu industri pertahanan dan keamanan.

Politik dan revolusi industri di atas tidak mungkin bisa diwujudkan oleh negara Khilafah, kecuali dengan sejumlah langkah, antara lain, negara harus membuka pusat-pusat kajian dan riset, pelatihan dan laboratorium untuk mengajarkan sains industrial enginering, baik teori maupun terapan, seperti industri eksplorasi, penambangan, pengolahan dan kimia. Semuanya ini digunakan untuk menopang industri berat serta industri pertahanan dan keamanan negara.

Perlu dicatat, bahwa industri pertahanan dan keamanan ini sudah dikembangkan pada masa awal Islam. Pada masa Nabi, pedang, tombak, panah, perisai, manjaniq (pelontar batu) dan dababah (sejenis tank yang terbuat dari kulit) adalah alutsista negara pada waktu itu. Alutsista ini sudah digunakan kaum Muslim pada zamannya. Mereka bahkan bisa memproduksinya sendiri, dengan bahan baku yang tersedia.

Pada zaman Harun ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyyah, sudah diciptakan jam sebagai penunjuk waktu. Ketika Charlement, Raja Eropa saat itu, mendapat hadiah darinya, kemudian jam itu berdetak lalu mengeluarkan bunyi, permaisuri Raja saat itu mengira jam tersebut dihuni banyak jin Efrit. Pada zaman Sultan Muhammad al-Fatih, Khilafah Utsmaniyyah, dia membiayai ilmuan penemu alutsista untuk mengembangkan penemuannya, yang semula diajukan kepada Raja Eropa, tetapi tidak direspons. Dia pun berhasil membuat meriam raksasa yang beratnya 700 ton, dengan berat mesiu 12.000 rithl, ditarik oleh 100 kerbau dan dibantu 100 orang yang gagah perkasa. Jauh lontarannya sejauh 1 mil, dengan kedalaman 6 kaki. Suara ledakannya terdengar dari jarak 13 mil. Meriam ini telah digunakan untuk menghancurkan tembok Konstantinopel, ketika ditaklukkan oleh sang Sultan.

Ini merupakan gambaran nyata tentang bagaimana politik industri negara harus dijalankan. Politik yang didasarkan pada industri pertahanan dan keamanan (as-shinĂ¢’ah al-harbiyyah).

Industri Pertahanan, Keamanan dan Bahan Baku

Industri pertahanan dan keamanan (as-shinĂ¢’ah al-harbiyyah) sebagai pondasi seluruh kebijakan negara di bidang industri mengharuskan adanya industri alat berat, bahan baku dan bahan bakar. Karena itu, negara Khilafah juga harus membangun industri bahan baku, seperti baja, besi, seng, kuningan dan alumunium. Selain itu, negara Khilafah harus mandiri di bidang energi sehingga bisa memenuhi kebutuhan industrinya. Negara juga harus mempunyai industri eksplorasi, penambangan, pengelolaan dan penjernihan minyak, gas, batubara, panas bumi dan lain-lain. Termasuk industri nuklir, baik untuk persenjataan maupun energi. Semuanya ini bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara Khilafah memiliki industri alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada negara lain, terutama negara Barat.

Karena industri-industri ini merupakan industri strategis, maka industri-industri ini—sebagaimana tabiatnya sebagai penghasil barang-barang startegis—tidak boleh dimiliki oleh pribadi, baik swasta domestik maupun asing. Meski jenis produksinya ada yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti energi, dan status industrinya merupakan industri milik umum (public industry), tetapi pengelolaannya tetap ditangani oleh negara. Karena itu, industri-industri strategis ini pada dasarnya akan ditangani oleh negara, bukan oleh individu, atau diprivatisasi untuk kepentingan individu, partai atau kelompok tertentu.

Dengan kebijakan seperti itu, produksi alat utama sistem pertahanan negara (alutsista) bisa dilakukan secara mandiri. Mulai dari pesawat tempur, kapal induk, kapal patroli, kapal selam, helikopter, tank, rudal jelajah antar benua, rudal pertahanan, radar, satelit dan lain-lain. Semuanya bisa diproduksi sendiri oleh negara Khilafah, dengan bahan baku, bahan bakar, energi hingga alat berat yang digunakan untuk memproduksinya. Namun, kebijakan ini tidak akan bisa dijalankan jika tidak ada politik industri yang integratif, yang dijalankan oleh negara. Mulai dari industri alat berat, bahan baku, bahan bakar dan energi. Mengenai pasar, bagi negara Khilafah, fokus utama produksi adalah pertahanan dan keamanan, bukan bisnis persenjataan.

Dengan demikian, masalah pasar tidak menjadi permasalahan utama dalam produksi alutsista. Dengan kata lain, industri pertahanan dan keamanan negara tidak dibangun dengan prinsip benefit (untung rugi), tetapi didasarkan pada kebutuhan pertahanan dan keamanan negara semata. Jika untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan negara dibutuhkan dana besar, maka berapapun kebutuhannya harus dipenuhi oleh negara (Baitul Mal), tanpa melihat apakah produksi tersebut akan memberikan keuntungan finansial atau tidak.

Ini berbeda dengan industri yang lain, seperti industri otomotif, elektronik, properti, konsumtif dan lain-lain. Dalam industri ini faktor supply and demand atau market menjadi acuan dalam menentukan volume, kapasitas dan ragam barang yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi. Selain itu, status kepemilikan industri seperti ini tidak harus dimiliki oleh negara, tetapi boleh juga dimiliki oleh individu.

Kesimpulan

Matinya industri pertahanan dan keamanan, yang kemudian berdampak pada lemahnya pertahanan dan keamanan negara memang tidak bisa dilepaskan dari konspirasi negara penjajah dengan para anteknya. Mulai dari penyesatan opini, seperti “high cost”, “tidak marketable” dan sebagainya, hingga dilumpuhkannya industri alat berat, kedirgantaraan, maritim dan lain-lain. Termasuk dihancurkannya industri pertambangan, baik melalui regulasi maupun politik yang korup, hingga negeri-negeri kaum Muslim yang kaya akan tambang dan energi itu harus mengalami defisit pasokan energi.

Dengan cara yang sama, bahan baku yang melimpah akhirnya berhasil dikuras oleh negara-negara penjajah. Kasus yang terjadi pada PT Krakatau Steel dengan produksi bajanya adalah bukti praktik regulasi dan politik yang korup. Belum lagi persaingan antara AS, melalui perusahaan Korea Selatan dengan anteknya di Indonesia dan negara itu, dengan Uni Eropa guna memperebutkan industri strategis ini. Ini hanyalah contoh, bagaimana industri strategis di negeri-negeri kaum Muslim dihancurkan melalui konspirasi jahat negara-negara penjajah dan antek-antek mereka yang rakus dan korup.

HTI

Tidak ada komentar: