Tampilkan postingan dengan label Ekonomi dan Bisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi dan Bisnis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Mei 2010

Atasi Macet dengan Sistem Nomor Polisi Genap Ganjil (SISNOPOL GG) Itu Prioritas Utama


Kemacetan Kota Jakarta sudah hampir setiap hari terjadi dan seakan-akan itu adalah suatu fenomena yang alami. Semua orang pengguna jalan tampaknya enggan melakukan protes pada Pemda DKI ataupun pemerintah, ada mungkin kekesalan yang terngiang-ngiang dalam hatinya masing-masing dan tampaknya masih terpendam dengan baik sampai saat ini. Yang terpikir dalam benak mereka bahwa ini masalah biasa yang penting bagaimana saya bisa masuk kerja hari ini sampai tujuan dan jangan sampai terlambat atau syukur kalau saya bisa sampai on time (bagus-bagus kalau in time jadi bisa santai dulu), yaa kalau telat berarti saya besok cari jalan tikus yang lain atau berangkat lebih pagi dari sekarang tanpa memikirkan mengapa semua ini harus terjadi dan dibiarkan tanpa ada kepedulian yang nyata hingga sampai sekarang malah makin bertambah semakin parah.

Hal ini sebenarnya adalah PR yang sudah sangat lama dan menurut saya belum terpecahkan sampai sekarang. Tentu ini tidak bisa kita biarkan berlarut-larut begitu saja. Pajak dengan jojong kita membayarnya secara rutin (itu adalah kewajiban kita sebagai warga negara yang baik) dan sekarang bagaimana dengan hak kita? Bukankah negara ini dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat? Lantas siapa yang salah dan yang tidak baik hingga semuanya bisa terjadi seperti ini? Pemerintahkah yang salah atau prematur dalam mengatur manajemen dan mengambil kebijakan? Atau yang disalahkan lagi-lagi adalah rakyatnya? Wah-wah koq sedikit-sedikit rakyat, rakyatnya kok cuma sedikit. ^^

Sekian tahun ke depan bakal bisa diprediksi bahwa Kota Jakarta adalah Kota yang sangat penuh dengan lautan mobil dimulai dari pagi hingga pagi kembali dimana pergerakan akan sulit sekali alias padat merayap pada setiap saat tanpa henti. Bisa kita bayangkan betapa kesalnya, stressnya, lelahnya, basahnya baju kerja kita, dan lamanya melamun di jalan sehingga banyak waktu menguap dengan percuma?

Menurut saya ini adalah salah satu masalah nasional yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah khususnya oleh pihak Pemda DKI. Pemerintah disini sudah selayaknya dan sepatutnya bahkan wajib menerapkan peraturan-peraturan yang ketat dan sebaiknya tidak berorientasi pada mengejar pendapatan semata. Uang bukanlah segalanya dan bukanlah prioritas nomor satu tetapi menurut saya kenyamanan, ketertiban, kelancaran, kebahagiaan, moralitas, dan kesehatan adalah segalanya di atas itu, nilai mereka tidak bisa dihargai dan dihitung dengan materiil. Jika poin-poin tersebut diutamakan sudah pasti yang itu akan datang dengan sendirinya, jika hanya mengandalkan materiil belum tentu poin-poin tadi akan ikut datang pula. Tidak sependapat? Anda bisa menjamin dalam masalah ini?

Sistem Bus Way yang telah diterapkan oleh mantan Gubernur DKI Bapak Sutiyoso dahulu (hingga sekarang masih berjalan) memang baik sekali tetapi sekali lagi menurut saya masih jauh sekali untuk dapat memecahkan permasalahan melainkan hanya menyebabkan timbulnya masalah lain yang baru.

Dengar-dengar pemerintah akan menghapuskan Sistem 3 in 1 dan menggantinya dengan Sistem Retribusi. Sungguh sistem penerapan retribusi yang akan direncanakan oleh pemerintah ini adalah bukan solusi jitu melainkan suatu langkah mundur, menurut saya sistem retribusi itu adalah solusi nomor sekian-sekian. Justru dampaknya akan sama saja dan makin memperparah moralitas bangsa yang hanya mengajarkan pada satu sisi yaitu materiil dan materiil. Ibarat air jika di kanan di tutup, maka di kiri akan membesar dan meluap. Jika di kiri tidak bisa menampung dan menahannya lagi, maka yang di kanan lama-lama akan jebol juga. Sekali lagi, ini bukan merupakan solusi brillian dan terkesan sekali sistem pemerintahan kita hanya mengejar uang yang memberatkan serta memeras rakyatnya. Benar-benar tidak ada filter sama sekali dan tidak memandang kelas (semua dianggap sama akibatnya yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin).

Rakyat khususnya masyarakat sekitar Jakarta sudah seharusnya menolak dengan tegas solusi ini. Hal tersebut jelas-jelas sangat bertentangan dengan sifat Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang berkeadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Saya sebagai anak bangsa terutama yang ikut tinggal di sekitar Kota Jakarta ini merasa berkewajiban memberi sumbangsih pemikiran sederhana ini yang mungkin dapat dipertimbangkan dan menjadi masukan lebih lanjut, yaitu:

1. Menerapkan Sistem Nomor Polisi Genap Ganjil (SISNOPOL GG) dengan dikaitkan pada hari-hari tertentu dan/atau jalan-jalan tertentu.

2. Memperluas dan memprioritaskan peran angkutan umum pemerintah dan swasta sebagai angkutan transportasi utama dan paling utama khususnya pada jalan-jalan utama Kota Jakarta.

3. Membangun alternatif-alternatif selain transportasi darat jalan raya misalnya kereta api dan transportasi air dengan lebih profesional dan dengan memiliki jalur (seperti penambahan jalur rel kereta yang saat ini 2 menjadi 4 jalur) serta jumlah armada yang lebih banyak lagi.

4. Menetapkan pembelian mobil untuk tahun-tahun yang baru (misal minimal 2011 ke atas) dilarang membeli bahan bakar subsidi dan khusus motor tahun yang baru agar di bebani pajak yang tinggi.

5. Menambah jalan tol terutama yang aksesnya melalui Kota Jakarta dan sekitarnya (JABODETABEK).

6. Memindahkan rute kendaraan besar yang akan ke Tangerang atau Merak tidak lagi menggunakan jalan tol dalam kota melainkan melalui jalan tol alternatif lainnya.

Semoga bisa menambah ide-ide yang positif dan syukur-syukur berguna sehingga dapat digunakan untuk kemaslahatan bangsa.



Rabu, 15 April 2009

Kronologi dan Latar Belakang Krisis Finansial Global


Krisis global telah menyeret dampak ke semua negara, tak terkecuali Indonesia meski pada skala yang berbeda-beda. Indikasi krisis global sebenarnya sudah bisa diendus sejak tahun 2007.

Demikian laporan dari "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014" yang dirilis Bank Indonesia, Rabu (15/4/2009).

Laporan BI tersebut menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan bibit-bibit terjadinya krisis yang selanjutnya meluar dan menjadi krisis likuiditas terburuk di berbagai belahan dunia.

Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005.

Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar finansial global.

Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari seluruh outstanding kredit perumahan.

Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin.

Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat. Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.

Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$ 150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko dari produk-produk derivatif di atas.

Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar.

Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers. Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis ini.

Berikut rentetan kejadian setelah pernyataan tidak sanggup bayar dari BNP Paribas, yang sekaligus menandai perjalanan krisis terburuk sejak perang dunia II ini.

Tahun 2007:
Agustus: BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar masing-masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euri. The Fed menurunkan suku bunga menjadi 4,75%.

Oktober: Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS Bank (Swiss), Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England (BOE) melakukan injeksi likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-besaran (bank run). The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi 4,5%.

Desember: The Fed mengambil langkah memompa likuiditas melalui kerjasama dengan lima bank sentral lain, yaitu Bank of Canada, BOE, Bank of Japan, ECB, dan Swiss National Bank. The Fed memangkas suku bunga 25 bps menjadi 4,25%.

Tahun 2008:
Januari-Maret: Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001. The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu dari lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP Morgan Chase, menyusul kerugian besar yang diderita.

September: Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, yang menjadi progam bailout terbesar dalam sejarah AS selama ini. Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi besar pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis. American International Group (AIG), perusahaan asuransi terbesar di AS, juga diambang kebrangkutan. The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar US$ 85 miliar. Dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil, seperti tercermin dari turunnya angka penjualan
eceran dan meningkatnya pengangguran di AS dan berbagai negara Eropa.

Oktober: Intensitas krisis ke seluruh dunia semakin meningkat, dipicu oleh kebangkrutan Lehman Brothers. Flight to quality memicu outflows yang menyebabkan melemahnya nilai tukar. Pemerintah AS akhirnya mengumumkan paket penyelamatan sektor finansial sebesar US$ 700 miliar, Inggris mengumumkan paket penyelamatan perbankan sedikitnya sebesar 50 miliar poundsterling. Jerman menyediakan bantuan sebesar 50 miliar poundsterling untuk menyelamatkan Hypo Real Estate Bank. Tindakan tersebut juga ditambah aksi bersama penurunan suku bunga sebesar 0,5% dengan lima bank sentral lain yaitu ECB, BoE, Bank of Canada, Swedia, dan Swiss.

November-Desember: Tiga negara yaitu Ukraina, Pakistan, dan Eslandia menerima bantuan finansial dari IMF, disusul oleh Hongaria dan Belarusia. AS secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh Economic Research National Bureau of (NBER). The Fed terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25%, yang merupakan level terendah dalam sejarah.

Tahun 2009:
Januari-Februari: Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Inggris secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi.

Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838 miliar. Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank senilai US$ 1,5 triliun.


Sumber : http://www.detikfinance.com/


Kamis, 06 November 2008

Krisis Global Tahun 2008

PENYEBAB KRISIS GLOBAL

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara- negara yang ada di bumi ini tengah menghadapi suatu krisis keuangan secara global. Diakui ataupun tidak, krisis yang sedang dihadapi hampir semua negara yang ada ini merupakan imbas dari krisis finansial yang terjadi di negara adidaya, Amerika serikat. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis ekonomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikat dan bahkan di dunia.

Ada beberapa kasus yang dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis AS saat ini, antara lain:

1. Penumpukan hutang nasional hingga mencapai 8.98 trilyun dollar AS sedangkan PDB hanya 13 trilyun dollar AS

2. Terdapat progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trilyun dollar (akibatnya pendapatan AS berkurang)

3. Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan (hasilnya Irak tidak aman dan Osama Bin Laden tidak tertangkap juga) setelah membiayai perang Korea dan Vietnam.

4. CFTC (Commodity Futures Trading Commision) sebuah lembaga pengawas keuangan tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka.Dimana ECE juga turut berperan mengdongkrak harga minyak hingga lebih dari USD 100/barel.

5. Subprime Mortgage: Kerugian surat berharga property sehingga membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi UFJ.

6. Keputusan suku bunga murah dapat mendorong spekulasi.

Namun dari ke-6 alasan munculnya krisis AS saat ini, penyebab poin ke-5 lah yang dianggap paling berperan. Berikut ini saya sampaikan asal mula krisis Subprime Mortage.


ASAL MULA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA SERIKAT (AS)

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama sector laba. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Caranya bagaimana, hal itu merupakan urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu (untung).

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin menjual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Mengenai cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau memakai cara kucing hitam atau cara kucing putih. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang juga bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, buat jalan baru. Kalau membuat jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang senang. CEO dan para direkturnya senang karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.

Para pemilik saham juga senang karena kekayaannya terus naik. Pemerintah senang karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi senang karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Kalau tidak bisa membuat sendiri, maka barang tersebut didatangkan dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia (USD 2 triliun).

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan sukses. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi, toiletnya harus computerized. Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibuat lebih jumbo.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa lagi yang akan membeli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang membeli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah membuat keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan real-estat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.


HUBUNGAN SUBPRIME MORTGAGE DENGAN BANGKRUTNYA INVESTMENT BANKING SEPERTI LEHMAN BROTHERS

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Sebuah perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal seperti: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Pada dasarnya investment banking tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, tapi sekarang yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.

Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini sedang dalam kesulitan tersebut.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana .


AKTOR - AKTOR YANG BERPERAN DALAM KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :

Kreditor Perumahan Murah

Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.

Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.

Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.

Perusahaan Pemeringkat

Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.

Investment Banks (Bank Investasi)

Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.


DAMPAK KRISIS SUBPRIME MORTGAGE AMERIKA SERIKAT (AS) PADA NEGARA - NEGARA DI DUNIA

Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)

Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia. Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.

Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.

Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.

Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.

Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.


KEBIJAKAN BANK SENTRAL AMERIKA SERIKAT UNTUK MENGATASI KRISIS SUBPRIME MORTGAGE

Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.

Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi khususnya di negara berkembang.

Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerint ah negara seluruh dunia.

Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusahaan sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.


DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI BERBAGAI NEGARA

Krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sangat berdampak terhadap masyarakat khususnya tenaga kerja. Departemen Tenaga Kerja AS baru saja mengumumkan jumlah pengangguran mencapai 6,1 persen jauh lebih tinggi dari prediksi yang diakibatkan krisis AS. Jumlah ini meningkat menyusul Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ribuan tenaga kerja akibat krisis ekonomi.

Perubahan tingkat strategi kebijakan DPR AS terhadap paket kebijakan penyelamatan ekonomi atau RUU Bailout dengan dana sebesar US$ 700 miliar ternyata belum mendongkrak kepercayaan pasar. Fase persetujuan DPR atas RUU Bailout, harga saham- saham di pasar New York justru melemah, pasar belum yakin RUU Bailout mampu mencegah terjadinya krisis.

Kalangan investor masih meragukan resolusi RUU Bailout bisa menggairahkan industri keuangan dan visa kredit. Reaksi negatif muncul umumnya disebabkan meningkatnya angka pengangguran.

Sebelumnya DPR AS sempat menolak RUU yang sama dengan alasan pasar uang yang harus menyelesaikan krisis financial ini. Gagalnya RUU Bailout di tangan DPR AS mengakibatkan Indeks Dow Jones mengalami penurunan 777 poin, penurunan ini menurut data pasar uang AS adalah penurunan terbesar dalam waktu 1 hari, untuk itulah Presiden Bush langsung menenangkan pasar dengan menekankan bahwa pintu penyelamatan ekonomi AS tertutup.

Hingga akhirnya DPR AS menyetujui RUU Bailout tersebut. Senator Barack Obama yang kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat adalah salah satu senator yang menyetujui RUU tersebut. Persetujuan Senat tersebut disertai beberapa perubahan mencapai kelonggaran pada gaji perorangan dan usaha kecil serta menaikkan batas tabungan masyarakat yang dijamin pemerintah dari 100 ribu dolar menjadi 250 ribu dolar. Dan perubahan ini pun menghasilkan dukungan lintas partai di DPR.

Begitu juga dengan negara Eropa seperti Prancis langsung memompa dana lebih dari 8,5 miliar dolar, dan pemerintah Irlandia juga menempatkan jaminan tanpa batas.

Pengamat Ekonomi Iwan Jaya Agus memperkirakan efek domino kritis financial AS akan lebih terasa dibanding merosotnya ekonomi AS setelah serangan 2001 dan ekonomi Eropa akan lebih rentan terkena imbas. Menurutnya, krisis ekonomi Asia tidak akan separah Eropa karena kredit macetnya tidak sebesar AS maupun Eropa. Jepang misalnya hanya memiliki kredit macet sebesar US$ 8 miliar jauh lebih kecil dibanding AS yang kredit macetnya sebesar US$ 1,3 triliun tahun 2007.

“Kredit macet di negara Asia jauh lebih kecil dari negara Eropa dan AS namun demikian negara Asia belum bisa bernapas lega, karena sejak tahun 1997 yakni sejak krisis Asia, perusahaan keuangan Asia beralih ke tangan AS maupun Eropa sehingga dengan terpuruknya perekonomian AS maka dengan sendirinya perusahaan AS di Asia akan terkena imbasnya.

Pengamat ekonomi Aviliani justru lebih mengingatkan pasar untuk tetap waspada, menyusul kemungkinan perusahaan- perusahaan AS akan melakukan politik banting harga dan hal ini akan menghambat ekspor Indonesia. Untuk itu pemerintah harus melakukan langkah supaya tidak terjadi doble ekonomi dengan penggelembungan.

Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat memperkirakan 2 sampai 3 tahun ke depan AS harus kerja keras untuk mengatasi krisis perekonomiannya. Menurutnya, dunia usaha dan pemerintah Indonesia harus segera mencari pasar alternatif, sehingga produk ekspor tidak terganggu.

“Saya kira kinerja ekspor kita akan terpengaruh, akan menurun meski pun AS bukan tujuan ekspor terbesar tetapi ekspor utama kita seperti tekstil dan garmen, produk-produk pertanian yang menjadi koridor intensif industri padat karya, tentu akan berpengaruh dan harus ditanggulangi dengan cara klasifikasi market,” katanya.

Sementara Ekonom UGM Sri Adiningsih menilai sampai sejauh ini pemerintah Indonesia belum mempunyai langkah strategis untuk mengantisipasi dampak krisis financial AS, padahal jika krisis financial AS tidak segera teratasi maka dampaknya terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih buruk dibanding krisis ekonomi tahun 1998.

“Pemerintah Indonesia harus melihat dampaknya yang bisa lebih serius. Saya kuatir, karena pasar keuangan kita yang beberapa tahun terakhir ini banyak didukung oleh dana jangka pendek sementara kita tau bahwa dana jangka pendek internasional menurut pengamatan saya itu di atas US$ 50 miliar sehingga kalau tidak hati-hati terhadap arus balik tentunya dampaknya akan merusak sekali,” kata Sri.


DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI INDONESIA

Ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai dampak atas krisis global ini terhadap perekonomian Indonesia. Berikut ini saya paparkan dampak resesi global ini terhadap perekonomian Indonesia.

Melemahnya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah pada tanggal 10 Oktober sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD.

Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun sebanyak 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara mulai Rabu, 8 Oktober 2008). Harga saham benar- benar turun drastis.

Krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Karena sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan (melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut) enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Pada Negara berjumlah penduduk banyak seperti Indonesia belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.

Krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.Dalam situasi seperti ini tentunya yang biasa dilakukan adalah efisiensi. Bisa jadi itu dilakukan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Itu sudah menjadi konsekuensi kalau daya saing produk kita terus berkurang sementara biaya produksi meningkat.


LANGKAH- LANGKAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI KRISIS GLOBAL

Karena capital inflow melalui pasar modal berkurang, diharapkan bisa terkompensasi dari aliran dana lainnya. Di antaranya, menggenjot ekspor yang mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI).

Keinginan tersebut akan dipenuhi dengan sejumlah langkah. Langkah konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini, PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan.

Kebijakan nonkonvensional juga dilakukan melalui pemangkasan defisit APBN. Sebab, pembiayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan. Selain situasi masih tak menentu, likuditas di pasar global akan mengering. Apalagi, setelah pemerintah AS menganggarkan dana program penyelamatan darurat senilai USD 700 miliar (sekitar Rp 6.440 triliun). Selain dari pajak yang dibayar rakyat AS, dana tersebut bakal dicarikan dari penerbitan obligasi di pasar. (jiban)

http://heto-heto.blogspot.com/2008/10/dampak-krisis-global-terhadap.html

Perbedaan Krisis 1997 dari Krisis Global 2008 Terhadap Indonesia

TIDAK bijaksana rasanya bila kita meyakini bahwa krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) tidak akan memengaruhi ekonomi Indonesia.

Kurang rasional pula kalau kita mengabaikan begitu saja perkembangan terakhir krisis finansial di AS, yang dampaknya sudah dirasakan dampaknya di dataran Eropa. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal ini saya tekankan.

Pertama, Indonesia menganut ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi permodalan, Indonesia tergolong negara yang sangat liberal dibandingkan negara-negara di Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih kapitalis ketimbang Indonesia.

Dengan demikian, setelah kejadian di AS, para investor asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga di Jakarta Stock Exchange tentu akan mengambil posisi mengamankan investasinya, dengan menjual saham-saham mereka di pasar modal.

Hal ini terlihat dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti ada cash out flow cukup besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional.

Kedua, sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan orang per orang serta lembaga - lembaga keuangan dari Indonesia di New York Stock Exchange (NYSE). Baru ada beberapa bank yang mengakui menanam modalnya di pasar saham AS.

Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang memiliki surat berharga dari lembaga-lembaga keuangan AS yang bangkrut akibat imbas kredit macet perumahan di AS.

Dana mereka tentu saja menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja, meski Kongres telah menyetujui usulan Menteri Keuangan AS untuk mem-bailout kerugian pasar saham tersebut senilai 700 miliar dolar AS. Sebab dana sebesar itu tidak begitu saja dikucurkan, masih ada prasyarat untuk pencairannya.

Ketiga, dalam struktur ekspor Indonesia, AS adalah pasar utama produk-produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia diarahkan ke Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa.

Beberapa industri tekstil dan produk tekstil yang pasar utamanya ke AS sudah mulai mengeluh, karena banyak permintaan dari pembeli untuk menjadwalkan kembali pengiriman barangnya, bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor menurun dan impor Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan menurunkan cadangan devisa.

Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul kekhawatiran berlebihan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia terhadap situasi ini, sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri.

Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat kemampuan ekonomi bangsa, tetapi semata-mata untuk menjaga kenyamanan investor-investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia dengan menerapkan kebijakan moneter yang ketat.

Kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang membahayakan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi riil. Karena itu, kita mesti menyikapi krisis keuangan AS secara proporsional, karena peristiwa seperti ini akan terus berulang dan akan selalu dihadapi Indonesia yang notabene telah menjadi salah satu bagian kecil ekonomi global.

Dengan cara ini, kita akan mampu mengambil langkah-langkah profesional, meminimalkan dampak krisis keuangan AS yang sudah mengimbas menjadi krisis global tanpa merugikan ekonomi nasional. Yang terpenting adalah membiasakan diri menghadapi dampak krisis global.


PERSAMAAN

Banyak analis mengatakan, krisis 1997 yang diawali dari terjun bebasnya nilai tukar bath (Thailand), kemudian merembet ke Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia merupakan krisis moneter tipe baru yang dapat melahirkan teori baru pula. Karena, faktor-faktor penyebab krisis tidak relevan dengan teori yang ada.

Berdasarkan model klasik Krugman (1979), yang berbasis pada krisis ekonomi di Meksiko tahun 1976, serta Argentina, Brazil, Peru, dan Meksiko pada awal tahun 1980, krisis moneter terjadi karena defisit anggaran yang terus membesar, sehingga mengurangi cadangan devisa dan kegagalan exchange rate peg.

Sepanjang 1990-1996, baik Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan telah melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter yang cukup hati-hati, sehingga kinerja keuangannya menunjukkan perkembangan positif.

Diantaranya defisit anggaran tergolong moderat (bahkan khusus 1996, Indonesia, Korea dan Thailand tidak defisit), perbandingan utang publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga rendah, tingkat inflasi terjaga dan rendah, serta cadangan devisa terus meningkat.

Karena itu, pada awal jatuhnya nilai tukar bath, Menteri Keuangan (saat itu Mar’ie Muhammad) berulang kali mengatakan kepada media bahwa fundamental ekonomi kita kuat, sehingga tidak akan terpengaruh oleh krisis Thailand.

Namun pada akhirnya, Indonesia justru merasakan dampak krisis Thailand yang paling parah ketimbang empat negara lainnya. Sekarang, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Budiono mengatakan hal yang hampir sama secara substansial dengan apa yang dikatakan Mar’ie Muhammad.

Setidaknya, kinerja ekonomi nasional saat ini adalah yang terbaik setelah 10 tahun krisis moneter. Kinerja ekspor nonmigas sudah menembus angka 50 miliar dolar AS, serta selalu surplus setiap bulan.

Cadangan devisa per Agustus 2008 mencapai 59,6 miliar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2008 diperkirakan melampaui 6 persen, dan tingkat inflasi diharapkan tidak lebih dari 11,5 persen. Tingginya tingkat inflasi tahun ini lebih banyak disebabkan cost push inflation, akibat naiknya harga BBM bulan Mei lalu.

Dari data tersebut, setidaknya kita meyakini satu hal, bahwa tanpa adanya gejala-gejala krisis bukan berarti Indonesia akan terhindar dari krisis.

Krisis 1997 memberi pelajaran berharga agar kita lebih waspada. Lalu, patutkah kita lebih optimistis untuk mengatakan bahwa kita sekarang sudah lebih dewasa dan lebih mampu mengelola krisis?


PERBEDAAN

Pengaruh krisis finansial AS sudah pasti akan dirasakan Indonesia; tinggal menghitung tingkat kesakitannya, apakah sama atau berbeda dengan tahun 1997.

Andai kondisi ekonomi Indonesia, baik sistem maupun strukturnya, masih mengikuti pola sebelum 1997, mungkin saja akan lahir efek contagion jilid dua, yang akan membawa kembali negeri ini ke dalam nestapa krisis moneter.

Tetapi yang saya yakin, dan harus didukung kuat oleh masyarakat Indonesia, kebijakan ekonomi Indonesia sudah berbeda dengan masa lalu.

Pertama, nilai tukar rupiah sudah diserahkan pada mekanisme pasar (floating rate), tidak lagi menganut nilai tukar mengambang terkendali yang membuat BI harus terus melakukan intervensi pasar guna menjaga agar nilai tukar rupiah tetap berada pada kisaran yang sudah ditetapkan.

Sesuai dengan UU, Bank Indonesia berkewajiban menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, namun tidak dipaksa menjaga pada nilai tukar tertentu, sehingga BI tidak harus bolak-balik intervensi ke pasar uang.

Kedua, tingkat cadangan devisa Indonesia sudah sangat memadai. Jika akhir 2007 masih 17 dolar AS, per Agustus 2008 sudah mencapai 59,6 miliar dolar AS.

Cadangan devisa negara membantu pemerintah mengelola risiko yang harus dihadapi, dan memperkuat keyakinan terhadap negara maupun mata uangnya. Makin besar cadangan devisa negara, kian kuat pula negara dalam mengelola risiko yang sedang dihadapinya.

Ketiga, sistem perbankan nasional dewasa ini sudah dibentengi dengan berbagai aturan.

Belajar dari banyaknya moral hazard yang terjadi sebelum krisis moneter 1997, BI telah menerbitkan berbagai aturan dalam pengelolaan bank. Dengan demikian, kecil peluangnya bagi pemilik untuk menggunakan dana masyarakat bagi kepentingan bisnisnya.

Pemilik pun tidak bisa semau gue dalam menentukan pengurus bank. Pengawasan oleh BI terhadap operasional bank terbilang sangat ketat, sehingga kecurangan-kecurangan yang dilakukan manajemen bank cepat terdeteksi.

Adanya Sistem Informasi Debitur (SID) yang memungkinkan BI mengetahui identitas debitur seluruh bank dan memungkinkan bagi manajemen bank untuk tidak dikelabui debitur, sangat membantu dan mendorong semakin mantapnya perbanan nasional.

Hanya saja yang membedakan dengan krisis 1997 adalah bahwa hubungan dagang Indonesia dan Thailand sangat kecil, sedangkan hubungan dagang Indonesia dan AS sangat besar.

Menurut teori, saat terjadi krisis dari salah satu negara jelas akan berdampak besar pada perekonomian negara yang menjadi mitra dagangnya.

Tampaknya, teori ini tak akan terbukti kalau seluruh masyarakat mempercayai kebijakan yang diambil pemerintah. Sebab, saat krisis 1997 mendera ekonomi nasional, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem ekonomi nasional sangat rendah.

Saat Menteri Keuangan meminta masyarakat untuk tenang, justru direspon masyarakat dengan berlomba-lomba menukar rupiahnya dengan dolar AS. Karena itu, saya percaya, apapun bagusnya sistem yang dikembangkan, kalau tanpa dukungan kepercayaan masyarakat, maka sistem tersebut akan menjadi hampa. Sekarang pun saya percaya, ekonomi kita akan tetap tegar menghadapi krisis keuangan global, jika masyarakat percaya sepenuhnya dengan kekuatan ekonomi nasional. (jiban)

Oleh: Ihwan Sudrajat, kepala Biro Perekonomian Daerah pada Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah

Jumat, 19 September 2008

Jumlah Penduduk Miskin Dunia Naik Menjadi 220 Juta


Jumlah orang yang hidup pada batas kemiskinan naik dua kali lipat menjadi 220 juta manusia dalam waktu dua tahun terakhir.

Ini dikatakan oleh badan bantuan CARE International dalam laporannya yang paling baru.

CARE merumuskan orang yang berada pada batas kemiskinan itu sebagai orang yang tidak mampu mencari makan sendiri dan karenanya perlu mendapat bantuan ekonomi.

Kata CARE, penyebab utama peningkatan jumlah orang miskin itu adalah naiknya harga-harga pangan. Kurangnya pangan itu juga disebabkan oleh berkurangnya luas tanah dan air karena perubahan iklim.

Penyusun laporan itu, Vanessa Rubin mengatakan, tanggapan dunia internasional ketika terjadi keadaan darurat, tidak mencukupi. Ia mengatakan, dunia haruslah menentukan kenapa ada kelompok masyarakat yang peka karena adanya krisis, dan berdasarkan itu membuat rencana jangka panjang supaya kelompok masyarakat itu bisa berswa-sembada.

Pornografi Rusak Perekonomian Bangsa

Pornografi dan pornoaksi ternyata tidak hanya merusak moral dan agama bangsa, tapi juga ekonominya. Kedua penyakit masyarakat itu membuat masyarakat malas dan menimbulkan kejahatan dan kekerasan, sehingga investasi dan lapangan kerja tidak berjalan.

Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pengembangan Iptek dan Imtaq Kementrian Pemuda dan Olahraga, Syahyan Asmara pada seminar dan sosialisasi Gerakan Anti-Pornografi dan Pornokasi yang bertajuk ”Pornografi dan Ancaman Degradasi Moral Masyarakat” di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (26/7).

”Pornografi dan pornoaksi itu melemahkan perekonomian bangsa. Jadi pornografi dan pornoaksi bukan persoalan agama dan moral saja. Pornografi dan pornoaksi adalah ancaman kesejahteraan bangsa, ” ujar Syahyan.

Menurutnya, dampak pornografi dan pornoaksi, di antaranya, adalah menghalalkan segala cara, sehingga banyak anak muda kita yang malas berusaha dan berkreasi. ”Sikap permisif, serba boleh ini terjadi di kalangan pemuda kita. Selain itu, juga mengakibatkan kekerasan dan kejahatan. Dengan kebebasan pornografi dan pornoaksi maka orang mudah berbuat jahat, ” jelasnya.

Akibat selanjuntya, katanya, perekonomian kita mundur. ”Kalau orang mengantungkan hidupnya dari pornografi dan pornoaksi, bagaimana bisa maju? Ini yang harus kita camkan bersama. Jadi ini membuat negara kita rapuh. Harus diingat, ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang tidak ingin negara kita maju, ” papar Syahyan.

Oleh karena itu, pihaknya meminta semua pihak untuk ikut bersama-sama mencegah pornografi dan pornoaksi marak, bebas di tengah-tengah masyarakat. Sebab, kebebasan pornografi otomatis menjadi pemicu meningkatnya kejahatan. ”Di situ ada pornografi dan pornoaksi pasti ada narkoba, dan tindakan kriminal lainnya, ” sambung dia.

Lantaran begitu masifnya gerakan pornografi dan pornoaksi, ia mendesak DPR dan pemerintah segera mengesahkan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (UU APP). ”Soal nama, ada kata ‘anti’nya atau tidak, tidak masalah. Yang penting ada aturan untuk mencegah pornografi dan pornoaksi, ” harapnya.

Jumat, 08 Agustus 2008

Kasus Perdagangan Berjangka Indonesia

Menyikapi berita tentang “Penipuan Berkedok Investasi” yang dilakukan PT. Graha Finesa Futures sebagaimana ditayangkan pada sejumlah tayangan berita stasiun televisi beberapa hari yang lalu, saya beranggapan, hal yang dilakukan Graha Finesa hanyalah puncak gunung es. Masih banyak lagi perusahaan pialang berjangka (futures) yang melakukan malpraktik dengan modus sama.

Akar permasalahannya ada di UU No. 32/ 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang diselewengkan/dimanipulir para pialang berjangka. Lembaga lain yang terlibat di dalamnya selain perusahaan pialang berjangka adalah PT. Bursa Berjangka Jakarta, BAPPEBTI dan PT. Kliring Berjangka Indonesia (Persero). Secara umum, yang diperdagangkan perusahaan pialang berjangka adalah derivative saham-saham di bursa luar negeri, seperti HANG SENG, NIKKEI & KOSPI. Komoditi produk-produk pertanian yang diperdagangkan di bursa Tokyo serta Perdagangan Valuta Asing, seperti EUR/USD, GBP/USD, USD/JPY, AUD/USD & USD/CHF. Padahal, secara jelas & tegas telah diatur dalam pasal 3 UU no. 32 tahun 1997, bahwa “subjek kontrak berjangka ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”

Sementara itu, tidak ada satu pun Keppres yang mengatur tentang perdagangan HANG SENG, NIKKEI, KOSPI, VALAS serta Komoditi produk bursa TOKYO. Tentunya, tujuan UU ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal dengan membentuk bursa komoditi yang sehat dan wajar di Indonesia agar para petani dapat terlepas dari tengkulak. Selain itu, menciptakan stabilisasi harga dalam batasan yang wajar. Namun pada kenyataannya, hampir semua perusahaan pialang berjangka yang menjadi anggota Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan mempunyai lisensi dari BAPPEBTI melakukan malpraktik dam melanggar UU.

Berdasarkan penelusuran informasi ke HKEX (BAPEPAM-nya Hong Kong) untuk menanyakan keabsahan transaksi yang dilakukan oleh pialang berjangka anggota BBJ. Sungguh mengejutkan jawaban yang saya dapatkan. Mereka tidak mengakui transaksi-transaksi tersebut. Bahkan mereka menyatakan bahwa untuk dapat melakukan transaksi di bursa Hong Kong harus melalui pialang yang terdaftar di bursa Hong Kong. Sementara itu, tidak satu pun pialang berjangka di Indonesia yang tercatat sebagai anggota Hong Kong clearing house. Dari sini saya menyimpulkan bahwa transaksi HANG SENG yang dilakukan oleh para pialang berjangka anggota Bursa Berjangka Jakarta adalah ILLEGAL.

Dengan kata lain, mereka meng-HOLD posisi nasabah (BUCKET) dan menjadi lawan nasabah. Ketika jika nasabah PROFIT, pihak pialang yang mengalami LOSS, begitu sebaliknya. Sehingga pihak pialang selalu berusaha menjaring nasabah sebanyak-banyaknya dengan janji-janji keuntungan cepat. Setelah nasabah terjaring, dalam beberapa waktu uang akan habis dan nasabah diminta untuk menambah dana lagi agar investasinya tidak hilang. Begitulah gambaran yang terjadi di dunia berjangka Indonesia saat ini. Masih banyak sekali memerlukan pembenahan dan sistem yang baik serta tidak memihak atau merugikan bagi semua pihak yang berkecimpung di dalamnya bukan hanya mengeruk keuntungan sepihak dan merugikan kalangan investor.

Rabu, 23 Juli 2008

Kejahatan Kerah Putih, Banyak Korporasi Besar yang Melakukan Penipuan

International
Jumat, 27 Oktober 2006

"Is Corporate Fraud Endemic in America?" demikian sebuah tulisan yang diturunkan kantor berita Agence France Presse pada 3 September 2006. Apakah praktik penipuan sarat terjadi pada korporasi Amerika Serikat ... ? Apa yang umum terjadi pada perusahaan AT & T, Boeing, Comverse Technology, Prudential Financial, Medtronic, Schering-Plough, dan Tenet Healthcare?

Dalam beberapa bulan terakhir pada tahun 2006, semua perusahaan itu telah dituduh melakukan penipuan oleh Departemen Kehakiman, khususnya Divisi Corporate Fraud Task Force. Semua perusahaan itu dituduh tidak berperilaku baik oleh jaksa penuntut.

Di antara berbagai tuduhan tersebut, perusahaan itu dituduh melakukan penipuan dalam perdagangan saham, pembukuan palsu, pemalsuan harga obat, suap kepada para dokter, dan lainnya. Total biaya atas perilaku buruk itu termasuk pengenaan denda dan penalti, dan tentunya membuat perusahaan telah mengorbankan para pemegang saham.

Ada biaya sekitar 2,6 miliar dollar AS. Hampir lima tahun setelah skandal Enron mencuat, kejahatan kerah putih oleh korporasi AS tidak berkurang, meski sudah ada tindakan penghukuman dari pemerintah.

Setelah kejatuhan Enron, pemerintah sudah membentuk Corporate Fraud Task Force (CFTF). Badan ini telah gencar melaksanakan tugasnya dan mengajukan ke pengadilan para eksekutif buruk. Badan itu telah melakukan tugasnya dengan baik. Sudah terjadi pengenaan hukuman pada dua eksekutif puncak Enron.

Eksekutif utama tak disentuh

Namun, ada kritikan. Para pengacara dan investor di bursa mengatakan, praktik penipuan sudah bagaikan wabah di korporasi AS. Dibutuhkan sanksi lebih keras untuk menghentikan itu semua.

Jacob Zamansky, seorang pengacara di New York dari perusahaan Zamansky and Associates, telah mengajukan gugatan kepada perusahaan pialang besar di Wall Street (bursa saham terkenal di AS). Ia mengatakan, masih banyak eksekutif yang harus dikenai hukuman untuk mempertanggungjawabkan penipuan. "Jika Departemen Kehakiman serius memperlihatkan penegakan hukum, tolong tindak para petinggi di bursa saham AS (Wall Street), juga korporasi AS," kata Zamansky.

Ia yakin pemerintah melakukan pekerjaan yang bagus dalam mengusut hingga menghukum para eksekutif pada kasus Enron dan banyak kasus lainnya hingga tahun 2005. Namun, setelah itu penegakan hukum makin melempem.

Seorang pejabat senior Departemen Kehakiman, yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa satuan tugas telah menindak secara agresif. Kegigihan juga terus dilanjutkan hingga tahun 2006. "Mulai Juli 2002 sampai Maret 2006 kami sudah menindak 1.000 kasus dan sebanyak 160 orang di antaranya adalah kelas eksekutif dan presiden perusahaan," kata pejabat itu.

Anggota inti CFTF, yang juga pejabat di Exchange Commission (Komisi Bursa Saham AS/ SEC) dan Federal Bureau of Investigation (FBI), bertemu pada Agustus 2006 untuk bertukar pikiran dan menyusun strategi. "Kami berupaya menarik dana sebanyak mungkin hasil manipulasi dan mencoba mendalami semua kasus," kata pejabat itu seraya mengatakan bahwa belum ada rencana membubarkan satuan tugas.

Prudential Financial, salah satu perusahaan asuransi jiwa terbesar Amerika Serikat, dengan penerimaan kuartalan 7 miliar dollar AS lebih, setuju membayar denda 600 juta dollar AS. Perusahaan ini mengakui berbuat salah tahun ini terkait perdagangan saham mutual fund yang menyalahi hukum. Tak ada eksekutif puncak Prudential, yang bangga dengan moto "Bertumbuh dan Melindungi Kemakmuran Anda", telah dikenai tuduhan sejauh ini, meski beberapa mantan broker sudah diusut.

Akan tetapi, Walter Ricciardi, Wakil Direktur Divisi Penegakan Hukum SEC, menekankan bahwa penyelidikan sedang berlangsung. "Penyelidikan sedang berlanjut, siapa pun dia akan diselidiki," katanya.

Tergiur keuntungan besar

Ricciardi mengatakan, pemerintah telah memerangi kejahatan kerah putih. Namun, para eksekutif yang bersalah itu sering sengaja melakukan penipuan karena tergiur dengan uang yang banyak. "Imbalannya bisa sangat besar, dan mereka berharap tidak ketahuan, tetapi sayangnya hal itu pasti ketahuan jika mereka tidak memiliki kompas yang bagus soal moral,"[i] katanya. [i]"Dan kami masih membutuhkan sebuah program penegakan hukum, bahkan dalam keadaan seperti sekarang," kata seorang pejabat senior SEC.

Charlie Cray, seorang Direktur Center for Corporate Policy (Washington), yang melacak beberapa penipuan perusahaan mengatakan, perusahaan melakukan kejahatan serius harus dimasukkan ke dalam pemantauan dan harus terbuka untuk pengusutan publik. "Saya kira segeralah tangani para eksekutif itu jika ditemukan bahwa mereka bersalah," kata Cray.

Namun, sekarang, meski ada denda besar, publikasi luas pada tahun-tahun terakhir, para eksekutif belum jera berbuat kesalahan. Hal itu akan membuat pemerintah terus sibuk pada tahun-tahun mendatang. "Apakah Anda berpikir Wall Street dan korporasi Amerika Serikat telah belajar dari kesalahan, oh tidak, mereka belum jera," kata Zamansky. (AFP/MON)

Sehat Tapi Pailit

Koran Tempo 29/04/2004. Perusahaan kelas dunia seperti Prudential pun, kalau melanggar kontrak, terpaksa bertekuk lutut.

Itulah keindahan Undang-Undang Kepailitan. Berkat UU yang disahkan pada 1998 ini, fondasi ekonomi Indonesia diperkokoh: hak milik individu, siapa pun dia, lebih terjaga; kontrak yakin terlaksana; dan kepastian berusaha terjamin. Karena kepentingannya dilindungi UU, pengusaha tak ragu mengambil risiko bisnis. Karena percaya kontrak ditegakkan oleh pengadilan, kreditor pun tak perlu ragu meminjamkan uangnya untuk diputar di dunia bisnis.

Atau tepatnya, itulah yang kita harapkan dari UU Kepailitan. Namun, mendengar berita pemailitan perusahaan asuransi PT Prudential Life Assurance, justru kesimpang-siuran yang terkesan.

Cerita singkatnya begini: Lee Boon Siong bekerja sebagai agen penjual produk asuransi Prudential. Menurut perjanjian, kalau target penjualan tercapai, Prudential memberi bonus. Tetapi, ketika target terpenuhi, kontrak diputus Prudential secara sepihak. Lee kehilangan bonus sekitar Rp 5 miliar. Juga potensi angsuran bonus sampai 2013 senilai Rp 360 miliar.

Itu menurut Lee. Prudential menampik. Lee mengajukan Prudential ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dan minggu lalu pengadilan memenangkan Lee dan memailitkan Prudential.

Pertanyaannya adalah apakah keputusan pengadilan yang melegalkan tuntutan Lee bisa dibenarkan? Mengingat sejarah kotor pengadilan kita dan kontroversi pemailitan Manulife dua tahun lalu, banyak yang mempertanyakannya. Jangan-jangan semua ini hanya sirkus hukum yang memanfaatkan kelemahan UU Kepailitan dan sistem peradilan kita.

Kalaupun pengadilan benar tuntutan Lee sah, masih ada pertanyaan lain: apakah pemailitan solusi terbaik? Tak adakah pilihan penyelesaian lain?

Sulit diterima akal. Prudential perusahaan yang sehat, terkelola baik, dan bereputasi tinggi. Rasio kecukupan modalnya pada 2003 sebesar 255 persen, jauh dari persyaratan minimum 100 persen. Keuangannya juga lancar dengan tingkat likuiditas 110 persen. Tahun lalu Prudential menggandakan pendapatan premi, dua kali lipat lebih; dan membukukan laba Rp 78 miliar. Lagi pula, kalau tuntutan Lee sah, kewajiban Prudential pada Lee pun tak sampai enam miliar, tak sebanding dengan kekayaannya yang Rp 1,5 triliun rupiah. Sisanya masih bisa diangsur sampai 2013.

Apakah tidak lebih baik pengadilan memerintahkan Prudential segera membayar kewajiban yang sekitar lima miliar itu, dan mencicil sisanya sampai 2013 sesuai dengan kontrak yang diklaim Lee?

Tak bisa tidak, kasus Prudential ini mempertontonkan muka buruk UU Kepailitan dan sistem peradilan kita. Pertama, terlalu mudah bagi kreditor memailitkan perusahaan yang sehat sekalipun, kadang hanya karena sengketa utang yang keberadaannya masih bisa diperdebatkan. Tak ada batasan minimum tagihan, tak ada pertimbangan nilai kekayaan perusahaan.

Kemudahan kreditor mengambil kembali uang yang ditanamkannya memang harus dijamin UU Kepailitan, justru jaminan inilah kekuatannya. Kalau pengelola teledor atau perusahaan rugi, kreditor bisa meminta pengadilan menyita kekayaan perusahaan dan kemudian menjualnya. Masalahnya, mengingat reputasi peradilan yang sarat korupsi, makin ringan syarat pemailitan, makin rentan UU ini disalahgunakan.

Kedua, UU Kepailitan tidak mempertimbangkan dampak sosial penutupan perusahaan. Untuk perusahaan asuransi seperti Prudential, ini sangat penting. Ribuan pemegang polis akan gelagapan kalau perusahaan asuransinya yang sehat walafiat tiba-tiba dipailitkan. Apalagi pemerintah yang mengatur dan mengawasi industri asuransi sama sekali tidak dilibatkan dalam pemailitan. Padahal, pemerintah sangat berkepentingan menjamin kestabilan industri keuangan dan menjaga kepentingan pemegang polis.

Mungkin industri asuransi sebaiknya dikecualikan dalam UU Kepailitan, hanya bisa dipailitkan pemerintah seperti halnya industri perbankan. Atau setidaknya pemailitannya atas persetujuan pemerintah.

Ketiga, yang mungkin paling penting, kasus Prudential ini gagal menjaga semangat yang mendasari pelaksanaan UU Kepailitan. Seharusnya, tujuan utama UU Kepailitan adalah mengoptimalkan kepentingan seluruh stakeholder, bukan hanya kreditor. Karena sehat dan bisa memenuhi kewajibannya, sebaiknya Prudential dibolehkan terus beroperasi. Pengadilan memailitkan perusahaan hanya kalau tak bisa diselamatkan lagi untuk memaksimalkan tingkat pengembalian bagi pemodal dan kreditor.

Pemailitan juga seharusnya digunakan untuk menghukum pengelola dan pemilik perusahaan yang sembrono. Kalau tak mau perusahaannya diambil alih, manajemen terdorong mengelola perusahaan dengan baik dan hati-hati. Anehnya, perusahaan sehat dan bereputasi pun ternyata bisa tiba-tiba pailit.

Pemailitan juga seharusnya hanya menjadi jalan terakhir setelah semua jalan lain buntu karena kepailitan sangat mahal biayanya bagi ekonomi. Akan ada pekerja yang dipecat dan aset yang salah urus ketika diambil alih. Pemerintah pun kehilangan potensi penerimaan pajak kalau perusahaan yang dipailitkan sebenarnya masih bisa diselamatkan.

Pengadilan sebaiknya menggunakan UU Kepailitan sebagai tongkat yang mendorong kreditor dan debitor untuk duduk bersama menyelesaikan masalah mereka. Kalau perlu, dengan merestruktur utang perusahaan.

Sekarang UU Kepailitan sedang diamendemen. Diusulkan kreditor hanya boleh memailitkan perusahaan kalau nilai utangnya lebih dari setengah total utang perusahaan. Ini langkah bagus untuk membatasi pemailitan yang tak perlu, tapi mungkin batasnya terlalu tinggi sehingga merugikan kreditor kecil.

Pilihan restrukturisasi utang juga akan diutamakan, atas usul pengelola, kreditor, atau pemegang saham. Untuk menjaga akuntabilitas hakim, setiap putusan harus terbuka untuk umum, termasuk dissenting opinion. Perusahaan asuransi juga hanya akan bisa dipailitkan oleh pengawasnya, Departemen Keuangan.

Singkatnya, kasus Prudential ini menggarisbawahi empat hal. Amendemen UU Kepailitan tidak boleh ditunda lagi. Semangat UU Kepailitan sebagai tongkat yang mendorong kreditor dan debitor duduk bersama seharusnya ditekankan dalam amendemen itu. Untuk menjaga kepentingan pemegang polis kalau perusahaan asuransinya pailit, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana sebaiknya sistem jaring pengaman industri asuransi.

Di atas semua itu, peradilan perlu dibersihkan dari korupsi, setiap pelanggaran harus dihukum berat. Amendemen UU Kepailitan sebaik apa pun tak akan berarti tanpanya.