Rabu, 23 Juli 2008

Ilusi Finansial Bagian ke-1

Alkisah pada suatu hari ada dua orang penerbit koran yang saling berkompetisi, sebutlah namanya A dan B. Kedua koran ini memiliki kualitas yang sama persis. Penerbit A menjual langganan korannya seharga Rp 50 ribu per bulan. Sedangkan penerbit B tidak puas dengan harga Rp 50 ribu per bulan karena merasa keuntungannya tidak cukup banyak, dia menjual korannya dengan biaya Rp 100 ribu/bulan.

Walaupun demikian, jika B menjual korannya dengan harga tersebut, maka korannya tidak akan laku. Dengan kualitas yang sama, bisa dibilang hampir semua konsumen akan memilih koran A yang harganya cuma setengah koran B. Dalam pasar bebas, B dihadapkan pada dua pilihan: tetap menjual dengan harga mahal tetapi mendapatkan pangsa pasar yang sedikit; atau menjual dengan harga lebih murah dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. B tidak menginginkan kedua pilihan tersebut, yang diinginkan B adalah menjual dengan harga mahal dan mendapatkan pangsa pasar yang besar pula. Mungkinkah B melakukan hal tersebut tanpa misalnya meningkatkan kualitas korannya?

Selain pengusaha koran, B juga seorang ahli finansial yang licik sekaligus jeli dalam melihat kesempatan. Dia bukannya menjual korannya lebih murah untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar, dia justru meningkatkan harga berlangganan koran B dua kali lipat. Koran B yang tadinya dijual seharga Rp 100 ribu, kini dia jual seharga Rp 200 ribu.

Logika mengatakan bahwa posisi B di pasar koran seharusnya akan semakin terjepit. Tapi tunggu dulu. B tidak begitu saja menaikkan harga korannya. Harga berlangganan koran B yang Rp 200 ribu/bulan ini dia bagi menjadi dua porsi: porsi pertama sebesar Rp 100 ribu dialokasikan untuk biaya berlangganan korannya itu sendiri, dan sisanya sebesar Rp 100 ribu adalah porsi investasi. Dengan kata lain, B tetap menikmati harga berlangganan korannya seperti sebelumnya yaitu sebesar Rp 100 ribu/bulan. Sedangkan tambahan Rp 100 ribu yang dia pungut dari pelanggan akan disetorkannya ke sebuah instrumen investasi yang hasilnya nanti akan dikembalikan kepada pelanggan.

Jika seorang konsumen berlangganan koran B selama 10 tahun, dengan asumsi perkembangan investasi 13%, maka nilai tunai hasil investasinya akan berjumlah lebih dari Rp 24 juta. Atau dengan kata lain sudah ‘balik modal’. Selama 10 tahun, pelanggan B telah menyetorkan biaya berlangganan sebesar Rp 24 juta, dan pada akhir tahun ke-10, nilai tunai yang dia dapatkan sudah melebihi Rp 24 juta. Secara nominal, pelanggan mengeluarkan Rp 24 juta untuk berlangganan selama 10 tahun dan pada akhir tahun ke-10 uang tersebut akan dikembalikan seluruhnya. Sebagian pelanggan akan merasa telah menikmati koran B dengan gratis!

Lebih daripada itu, pelanggan dapat pula meneruskan berlangganan setelah tahun ke-10 dengan sebuah catatan: konsumen dibebaskan atas biaya berlangganan sama sekali! Pelanggan bisa terus berlangganan koran B seumur hidupnya hanya dengan membayar biaya berlangganan selama 10 tahun! Bukan hanya itu, pada akhir tahun ke-20, selain bisa menikmati koran B dengan gratis, pelanggan juga dapat menikmati hasil investasi sebesar hampir Rp 60 juta.

Jika ada yang menanyakan kepada seorang konsumen mana yang lebih dia sukai:

  • Membayar Rp 50 ribu seumur hidup untuk berlangganan koran A; atau
  • Membayar Rp 200 ribu selama 10 tahun untuk berlangganan koran B, lalu seluruh uang tersebut akan dikembalikan di akhir tahun ke-10, atau pelanggan bisa meneruskan untuk berlangganan seumur hidup dengan gratis ditambah dengan menikmati hasil investasi yang berlipat-lipat jumlah yang telah disetorkan sebelumnya.

Secara intuitif, konsumen yang awam urusan finansial akan memilih koran B. Konsumen akan merasa koran B lebih menguntungkan karena jumlah yang dia dapatkan secara nominal jauh lebih banyak daripada jumlah yang dia setorkan. Tetapi tentunya ini salah kaprah, di balik itu semua, biaya berlangganan koran B tetap saja dua kali lipat lebih mahal daripada koran A. Pelanggan tetap membayar biaya berlangganan dua kali lipat lebih mahal daripada koran A, tetapi mereka tidak menyadari telah melakukannya. Teknik berjualan seperti ini saya sebut sebagai ‘ilusi finansial’. Hanya dengan ilusi finansial, seseorang bisa mengeluarkan uang dalam jumlah besar tetapi tidak merasa mengeluarkan uang sama sekali.

Dengan memasarkan koran B dengan menggunakan ilusi finansial, B bisa menjual korannya dengan harga dua kali lipat koran A, sekaligus mendapatkan pangsa pasar yang lebih banyak dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Selain itu, B juga dalam posisi yang lebih bagus karena memiliki margin keuntungan yang jauh lebih besar. Posisi ini bisa dimanfaatkan misalnya dengan melakukan pemasaran yang jauh lebih agresif untuk meraup pangsa pasar lebih banyak lagi.

***

Orang yang mengerti urusan finansial dan jeli melihat situasi tersebut di atas akan berpikir lain lagi: “Bagaimana jika saya tetap berlangganan koran A, dan selisih harga berlangganan koran A dan B saya investasikan sendiri secara terpisah?” Hasilnya sebagai berikut:

  • Pada akhir tahun ke-10, nilai tunai yang didapatkan adalah lebih dari Rp 37 juta, dan bukan hanya Rp 24 juta seperti di koran B.
  • Pada akhir tahun ke-20, nilai tunai yang didapatkan adalah lebih dari Rp 114 juta, dan bukan hanya Rp 60 juta seperti di koran B.

Kesimpulannya, dengan biaya yang dikeluarkan sama persis (Rp 200 ribu/bulan), berlangganan koran A tentunya jauh lebih menguntungkan daripada koran B. Sayangnya, tidak banyak konsumen yang mengerti masalah finansial sehingga bisa dipastikan mayoritas akan terjebak pada ilusi finansial dan berlangganan koran B.

Tulisan saya di atas memang cuma wacana. Saat ini tidak ada koran yang dijual seperti koran B (dan mudah-mudahan tidak akan pernah ada). Tetapi apakah anda tahu produk lain yang saat ini kebanyakan dijual seperti B menjual korannya? Dan apakah anda cukup waspada dalam menyikapi produk-produk tersebut?

Sumber : http://priyadi.net/

Tidak ada komentar: